Sabtu, 04 April 2020

Partnership with God



Do you know how many people are living in the world today? If you don’t know, you can find it in google. It can give you quite the rough number. But, do you know how many people have really lived in the world? I am sure that google cannot help you for that.

From the very common skill in Math and statistics that I have, I would confidently estimate that the number of human ever living on Earth is greater than any number that you can mention. Disclaimer, to completely answer my question, do consider counting those who lived before the event of the great flood. Yes, those who lived in the span of time since Adam and Eve were created to the time when God told Noah to get into the ark. Exactly, before the first Armageddon fell on Earth.  

God created the universe. And, He called it “Good.” He loves the world and He considers human as the most precious one above all His creation. Then, as story goes from there, the human He trusted corrupted the world and all within it. The human transgression into sin is so powerful that it has affected not only the human but also all the good things God has made.
Surprisingly, God still loves the already corrupted world and the main actors who cause the corruption, the human. The sin of human cannot cancel God’s love for the world. God’s love is stronger than the sin. He has strongly emphasized it as written in the bible, “..for God so love the world..”

When God mentions “The world”, I believe He means all people who have lived, who are living, and who will live in the world. God is the Alpha and Omega; the beginning and the ending. Every Word that comes from His mouth shall relate to that range of eternal time. His Word shall be applied from the beginning of the creation up to its ending. Can you imagine now, just how huge God’s love is?
God’s love is like an offer of friendship. When someone offers you a friendship, either you decide to accept or to decline it; the person who offers it will remain friendly to you. He will never force you. And, you must have already known this that a good friend never forces, and he never needs to force. God is also like that.

Yes, when God died on the cross to pay the sins of the world, He made Himself as friend to the world. He opens the way for the world to be reunited with Him. No more blockings since sin no longer counts.

However, there is another stage above friendship, called partnership. When someone who is naturally friendly offers you a friendship, he actually offers a partnership. And God is doing it until now, until His second returning.

What is good about partnership? One of them is the fact that partners live together. No more loneliness. It is about human being really human.  Well, since this partnership comes from God, then the situation that comes with is where you live together with God, the Master of all Universes. What can be better than that?

The first human; Adam and Eve lived together with God in the Paradise. The Paradise itself represents the presence of God. Therefore, a partnership that God gives to those who believe in Him simply means the restoring of the living-together condition with God.  It is the recreation of the experience in the Paradise in which God becomes the Provider for the human and the human do not need to worry about anything. It is a situation where human can go to work and find satisfaction from accomplishing meaningful works that God has also provided for them. Isn’t it very cool?

These days human work very hard, yet they hardly find meaning from what they do. They can work and get everything, but in the end find it meaningless.

Actually, this is the matter that God wants to address by the partnership that He wants the world to have with Him. Salvation has secured the access to heaven to those who believe in God. Apart from that, it also means full access for human to find meaning or purpose to their existence, being, and work on Earth; to find joy and satisfaction on Earth. Without knowing or finding the meaning in what they are doing in life, human will only end up hurting themselves. And, God does not want that.

I would close with this. There is so much that the salvation has done in your favor. But there is even more that the partnership with God will do in your favor (and even for the world).
Trust in Him (again).

John 3:16
For God so loved the world that he gave his one and only Son, that whoever believes in him shall not perish but have eternal life.

Selasa, 27 Juni 2017

Mind -> Heart -> Action

Libur tahunan Lebaran telah tiba. Pusat perbelanjaan kota-kota besar pun mendadak menjadi sesak. Untuk Jakarta kondisinya cukup unik. Kota ini seakan menemukan jatidiri baru selama masa Lebaran. Jakarta menjadi lengang seiring penghuninya yang memutuskan pulang ke kampungnya masing-masing untuk berkumpul dengan keluarga mereka. Tinggallah sang ibu kota sendiri mencoba berbenah diri.
Hari ini cukup cerah di Jakarta. Ada banyak yang dapat dilakukan dan ada banyak tempat yang dapat dikunjungi bersama orang-orang terkasih (jika ada).
Tidak semua orang berpendapat seperti aku. Salah satunya adalah sahabatku Gonde. Beberapa hari belakangan dia terlihat sibuk mencari kucing ajaibnya. Si kucing mendadak menghilang entah ke mana, tertelan entah apa, terpisah dari habitatnya. Begitulah Gonde menggambarkannya.
Kasihan Gonde. Semangat dan energinya seakan meredup semenjak saat itu. Ya.. sudah sejak beberapa hari lalu.
Jika bisa aku sangat ingin membantunya membuat sayembara untuk menemukan si kucing hilang. Aku bahkan sudah menganggarkan dana untuk menanggung biaya publikasi serta hadiah sayembara. Tapi ini adalah hal yang mustahil dapat dilakukan. Aku hanya dapat melihat dia berusaha menenangkan diri sambil aku geleng-geleng kepala. Selamat ini kucing itu, menurut dia, tinggal di dalam kepalanya.
“Bro… jelas aja kucingnya nggak bisa dicari! Kucingnya kan hanya lu yang bisa rasakan, lihat dan ajak ngobrol. Coba deh.. di lihat –lihat lagi. Mungkin aja kucingnya nyungsep ke bagian kepala lu yang lain. Ke lubang telinga lu, misalnya,” candaku kepadanya.
“Apa iya, kita perlu minta Clark Kent untuk melihat tembus ke dalam kepala lu?”
Entah apa yang membuat sang Superman melintas di dalam benakku saat itu. Tapi ini pun bagiku adalah usaha yang sia-sia. Pertama karena Gonde tidak menggubris dan kedua karena Clark Kent a.k.a Superman adalah tokoh fiksi. Tidak nyata.
Sekitar dua bulan yang lalu aku mengikuti satu kelas dari kelompok gerejaku. Ada satu prinsip yang sangat menarik yang aku pelajari sebagai hasil mengikuti 5 pertemuan kelas tersebut. Pikiran kita membentuk perasaan kita dan perasaan kita pada akhirnya akan menentukan tindakan kita. Logika berpikir seseorang akan menentukan respon orang tersebut terhadap apa yang terjadi atas dirinya.
Sebelum aku memberikan penjelasan, aku mau menanyakan ini terlebih dahulu. Teman-teman sadar tidak kalau logika berpikir setiap orang berbeda? Dulunya hal ini tidak pernah terlintas di benakku.
Sebagai contoh, misalkan ada dua pengunjung restoran yang sedang menikmati pesanan mereka dan tiba-tiba disuguhkan sambal yang sebelumnya tidak tersedia di meja. Tentunya, tidak semua orang akan mengambil sambal tersebut dan menambahkannya ke atas hidangan yang tengah mereka nikmati. Di sinilah area logika berpikir seseorang akan mengambil alih apa yang sebenarnya terjadi di dalam orang tersebut dengan sambal itu. Logika berpikir seseorang berhubungan kuat dengan pikiran, perasaan serta tindakan. Ketiga hal ini adalah satu paket. Tidak bisa terpisahkan.
Pikiran adalah informasi yang kita munculkan di dalam otak kita ketika sesuatu terjadi. Dalam contoh sambal tadi, orang-orang yang tidak suka sambal cenderung akan memunculkan informasi yang isinya mengatakan bahwa sambal bukanlah kebutuhan. Sementara orang-orang yang suka sambal akan memunculkan informasi yang mengatakan bahwa sambal adalah sebuah kebutuhan.
Lalu, informasi dari pikiran itu kemudian dikonversi lagi ke ranah perasaan di dalam diri orang tersebut. Perasaan adalah sikap hati yang muncul akibat informasi yang diterima dari pikiran. Untuk contoh sambal tadi, orang-orang yang menganggap sambal sebagai kebutuhan akan merasa senang, bahagia atau positif sesaat ketika mereka melihat sambal tersebut. Sebaliknya, mereka yang tidak menganggap sambal sebagai kebutuhan akan cenderung memiliki perasaan yang datar atau acuh bahkan mungkin risih terhadap sambal yang disajikan tersebut.
Ketika pikiran dan perasaan telah mengkristal di dalam diri seseorang, hal berikutnya yang terjadi adalah tindakan. Tindakan adalah sesuatu yang dilakukan oleh seseorang untuk memampukan dia mencapai keinginannya dari apa yang sedang ia jalani ataupun ingin capai. Dalam kasus sambal tadi, para penyuka sambal pasti akan menambahkan sambal agar hidangan tersebut menjadi nikmat sesuai selera mereka. Sebaliknya mereka yang tidak menyukai sambal akan cenderung tidak menggubris tawaran sambal itu agar mereka tetap bisa menikmati cita rasa terbaik dari hidangan yang telah ada di hadapan mereka.
Dari rangkaianan alur ini, aku pun setuju dengan apa yang diajarkan di dalam kelas yang aku ikuti tersebut. Yakni, hasil akhir atau respon kita terhadap suatu kejadian sangat ditentukan oleh tahap awal dari paket logika berpikir yang kita miliki, yakni pikiran. Tindakan kita bukan ditentukan oleh perasaan karena perasaan bukanlah akar dari sebuah tindakan.

Pikiran kita sebagai manusia akan terus bekerja dan bereaksi untuk memampukan kita untuk tetap bertahan hidup dengan cara yang kita yang kita inginkan dan dapat upayakan.
Sekali lagi, pikiran adalah informasi yang kita munculkan di dalam benak kita ketika melihat atau diperhadapkan kepada sesuatu, baik dalam segala kecil ataupun besar. Pikiran kita jelas tidak terbatas hanya pada semangkok sambal. Tetapi justru sangat terbukan terhadap banyak hal bahkan termasuk apa yang tidak kita sadari. Misalnya, terhadap restoran yang kita datangi. orang-orang yang ikut makan dengan kita, bahkan termasuk kondisi ekonomi nasional saat ini serta kontribusi makhluk luar angkasa dalam proses pembuatan sambal.
Di dalam beberapa bidang ilmu, ketika pikiran seseorang cenderung dipenuhi oleh informasi-informasi negatif hal itulah yang disebut distorsi kognitif. Aku menyebutnya, logika berpikir yang negatif.
Tuhan menciptakan segala sesuatnya untuk maksud yang baik. Itulah keyakinanku. Untungnya itu juga keyakinan yang dimiliki dan dibagikan oleh pengajar kelas yang aku ikuti tersebut.
Oleh karenanya aku juga belajar satu hal lagi yang sangat penting dari kelas itu yakni mengenai kabar gembira atas distorsi kognitif ini. Pikiran seseorang dapat berubah.
Teman-teman sangat teramat bisa mengendalikan pikiran teman-teman terhadap segala sesuatu. Tidak mudah memang. Tetapi ini semua tentang keteguhan keputusan teman-teman sendiri. Pikiran dapat berubah. Informasi yang kita munculkan dapat berubah. Caranya adalah dengan memunculkan informasi alternatif dan kemudian memilih informasi mana yang hendak dikonfersi ke dalam ranah perasaan dan kemudian dilanjutkan ke dalam bentuk tindakan.
Layaknya kumpulan lagi band music keras Metallica. Anda bisa memilih lagu yang mana yang hendak anda mainkan di music player anda. Tidak semua lagu band lawas ini beraliran keras seperti batu karang. Ada beberapa juga yang cukup lembut walau masih tetap garang. Demikianlah informasi yang anda pilih ketika mengalami sesuatu. Pasti ada informasi alternatif.
Pikiran yang awalnya negative dapat berubah menjadi pikiran positif. Semuanya tergantung seberapa banyak informasi alternative yang bisa anda munculkan dalam benak anda, dan kemudian anda pilih untuk tindaklanjuti. Di antara informasi-informasi alternatif tersebut pasti ada yang negative dan positif. Anda bisa dan sebaiknya memilih yang positif.
Contohnya api. Ada banyak pikiran serta informasi yang muncul di benak kita mengenai unsur ini, apalagi ketika kita berada sangat dekat dengan unsur tersebut.
Teman-teman bisa memilih antara melihat api sebagai informasi atas adanya bahaya atau informasi akan adanya penghangat makana. Atau contoh berikutnya adalah smartphone terkini. Teman-teman bisa memilih antara memunculkan informasi tentang harganya yang mahal atau fungsinya yang sangat membantu. Semuanya diawali dengan pikiran dan ini semua ada ditentukan oleh teman-teman sendiri.
Mari berpikir positif. Setidaknya… mari belajar dan memberi waktu untuk berpkir positif. Sulit-sulit tapi berarti euy..
Kembali ke Gonde. Menurut, teman-teman informasi apa yang seharusnya muncul dalam benakku dan Gonde tentang kucingnya yang hilang itu? Haruskah kami sepakat bahwa kucing itu pasti berwarna putih? Bisa berbicara seperti hewan-hewan lain dalam cerita rakyat? Atau kucing itu sebenarnya tidak pernah ada?
Entalah. Yang pasti Gonde adalah sahabatku. Itu yang ada di dalam pikiranku. Dia adalah sahabatku dan aku menghormati dia dan perbedaan di antara kami.
... dan aku masih tetap tidak suka Hari Libur..

Selasa, 18 April 2017

Tahun Baru di La La Land



Perlu optimisme besar untuk menyongsong tahun yang baru. Tanpa itu, tahun baru hanya akan terasa seperti tarikan nafas baru yang datang dan pergi setiap detik. Hanya penanda kehidupan tanpa adanya geliat. Buatku tahun baru akan benar-benar baru jika diawali dengan dengan target-target baru yang relevan untuk dicapai. Setidaknya cukup relevan untuk orang-orang yang akan kita kasihi sepanjang tahun baru.

Apakah satu tahun saja cukup untuk menunjukkan rasa kasih? Pastinya tidak. Menurutku setiap kisah tentang orang-orang yang dikasihi layak memiliki durasi waktu lebih dari satu tahun. Ya.. tentunya dengan harga extra juga dong. Hehe..  

Aku dan Gonde sudah berhasabat sangat lama. Kami cukup kenal satu sama lain. Aku juga menyadari bahwa aku bukan seorang sahabat yang baik untuk dia. Alasannya cukup sederhana. Aku belum bisa menerima keunikannya. Salah satunya adalah keunikannya yang mampu menerima aku apa adanya. Pertengkaran di antara kami sudah tidak terhitung. Jumlahnya sama persis dengan jumlah gencatan senjata di antara kami.

Awal tahun baru 2017 juga ikut merekam pertengkaran dalam persahabatan kami. Saat itu aku merasa gagal memenuhi syarat utama untuk memasuki tahun baru, Aku tidak memiliki optimism yang cukup besar. Tidak ada daftar daftar target untuk dicapai. Setidaknya sampai akhirnya dia mengingatkanku akan orang-orang yang ada untuk aku kasihi di sepanjang tahun 2017.

Gonde itu jomblo ngenes yang, menurutku, sangat paham arti mengasihi. Saking pahamnya, aku merasa sering dijadikan kelinci percobaan oleh dia untuk teori-teori idealismenya. Beberapa berhasil dan beberapa berakhir dengan kisah konyol.

Tentang mengasihi, begini cara dia menyimpulkannya, “Untuk mengasihi orang lain, kita harus memberi. Lalu, untuk memberi kita wajib hukumnya memiliki sesuatu. Tetapi yang paling penting.. supaya mampu memberi secara terus menerus, apa yang lu miliki haruslah cukup besar. Kalau nggak, ntar cepat habisnye…”

Waktu itu aku tidak begitu menggubris teori barunya. Aku hanya ingat dia segera buru-buru pergi setelah menyampaikan orasinya. Katanya sih dia lagi ada janji ketemu dengan gebetannya. Kata-katanya masih tersimpan di kepalaku. Tetapi aku tidak tahu pasti di bagian mana.  



Hari ini aku tidak masuk kantor karena libur hari besar Nasional dan aku tidak punya banyak kegiatan yang harus dikerjakan. Iseng-iseng akupun mencoba menulis lagi setelah hampir dua bulan tidak menulis. Dan tema pertama yang terlintas di kepalaku adalah tentang ‘besar’.

Setiap mendengar kata ‘besar’, siapa saja pasti akan segera terhubung dengan suatu konsep yang berhubungan dengan ukuran. Salah satu hal besar yang tidak terpungkiri kebesarannya adalah dunia. Coba bayangkan berapa milyar penduduk dunia saat ini? Laut dan juga daratannya yang masih belum dijelajahi oleh pemukiman manusia. Biaya yang diperlukan untuk bisa mengelilinginya.  Ya. Dunia itu besar. Aku mempelajari fakta ini baik di sekolah formal maupun lembaga informal lainnya. Kemanapun aku pernah pergi, kebenaran ini tidak tersanggah. Setidaknya oleh aku secara pribadi.

Suatu hari di tahun 2016 saat sedang ibadah Minggu, aku mendengar khotbah seorang gembala sidang gereja di Jakarta yang juga membahas tentang makna ‘besar’. Dan aku mendapat fakta baru yang dia tawarkan justru lebih nyata dan menarik. Beliau berkata, besar tidaknya dunia seseorang sebenarnya itu ditentukan oleh ukuran hati orang tersebut. Perkataan itu tidak terdengar meragukan bagiku, tetapi justru menyadarkan. Saat itu aku seperti orang tertampar dan sesaat kemudian tersenyum kembali.

Kembali pada saat di mana aku bertengkar dengan Gonde di awal tahun baru 2017, sebenarnya perkataan inilah yang memampukan aku berdamai dengan hatiku dan juga dengan sikap sok tahu sahabatku itu hingga akkhirnya aku pun mau mengikuti arahannya.



Dalam perjalanan melewati waktu demi waktu di tahun baru ini, arti kata besar ini kembali dipampangkan dengan jelas di depan mataku. Kali ini di depan layar besar. Tepatnya, layar bioskop di salah satu mall di Jakarta. Untungnya kala itu, Gonde tidak ikut bersamaku. Aku tidak ingin mendengar ocehannya sepanjang pemutaran film. Bosan. Well, aku ditemani oleh seorang teman baru saat itu. Teman baru yang mau membawakan makanan untukku bahkan setelah tahu porsi makananku yang juga besar.

Judul film itu, La La Land.




Bagiku hanya ada satu cara yang tepat untuk mengapresiasi film ini. Standing Ovation while smiling with your eyes keep starting at the cinema. Itu yang aku lakukan saat pertunjukan film itu berakhir.

Film ini dimulai dengan gejolak energi orang-orang yang bergerak maju ke arah tujuan yang sama walau harus dengan berdesak-desakan. Kemudian, ceritanya dilanjutkan dengan peleburan dan perpaduan antara perjalanan musikal ke tempat-tempat romantis dan kesempatan-kesempatan langka tak berujung jelas dalam usaha mengubah alur perjalanan hidup. Dan terakhir, kisah film ini ditutup secara elegan dan berbalut realita yang, menurutku, sangat jelas, tegas dan mendidik.

Dalam kesimpulan singkat, aku akan mengatakan bahwa film ini berhasil menunjukkan fakta bahwa dunia itu besar dan juga fakta mengenai besar tidaknya dunia seseorang yang ditentukan oleh ukuran hatinya.

Di bagian akhir film ditampilkan sebuah tahapan kehidupan di mana kedua tokoh utama yang adalah sepasang kekasih; Sebastian dan Maya, berhasil meraih mimpi mereka.  Sayangnya hubungan kasih-mengasihi mereka harus kandas bahkan jauh sebelum mereka akhirnya bertemu kembali. Walaupun bagian akhir film dipenuhi dengan dunia khayal yang dapat diciptakan oleh kreatifitas dan daya kerja otak manusia, sungguh aku tidak menemukan hati mereka di dalam alam fantasi tersebut. Ketidakhadiran hati mereka dalam bagian itulah yang, menurutku, telah mengakhiri kisah mereka.  

Faktor lain yang membuat hubungan mereka tidak berlanjut, tidak lain tidak bukan,  tentunya adalah karena durasi film nya habis. Dan itulah saatnya bagi para penonton bioskop untuk meninggalkan ruangan. Pergi dengan interpretasi di dalam benaknya masing-masing.



Setelah menemani si teman baru dan kemudian berpisah menuju rumah masing-masing, pikiranku masih terus merangkai-rangkai kemungkinan yang bisa terjadi seandainya saja durasi atau waktu film itu ditambah. Aku coba membandingkannya dengan durasi waktu ketika mereka terpisah oleh jarak dan waktu serta mereka membiarkan langkah mereka dipimpin oleh hati mereka masing-masing. Mungkin Sebastian dan Maya akan bisa bersatu kembali sebagai pasangan sah atau bahkan hanya sekedar selingkuhan romantis. Apalagi saat itu mereka tinggal di kota yang sama. Bagian yang sangat kecil jika dibandingkan dengan ukuran luas dunia yang telah berhasil mereka jelajahi.

Well, tidak ada yang dapat menghentikan laju waktu. Tetapi dorongan hati seseorang akan mampu menunggangi sang waktu.



Masih dalam perjalanan pulang, aku merasa terdorong untuk membuat teori baru tentang romantisme. Yang terbayang saat itu adalah aku tidak sabar ingin menguji teori kepadanya si jomblo ngenes yang sedang mencari pendamping di keesokan harinya. Sungguh, adegan penutup dari film itu sungguh sangat berkesan. Begini teorinya,

‘Seorang kekasih mengenal potensi kekasihnya dan mendorong kekasihnya untuk meraih mimpinya. Namun seorang dewasa tahu kapan untuk berhenti dan mengakhiri sesuatu dengan lapang dada; melihat ke belakang kemudian berlalu dengan tersenyum.’

Yang tadi itu versi panjangnya. Versi pendeknya seperti ini,

Dibutuhkan kedewasaan untuk bisa mengatakan “Cukup. Aku baik-baik saja. Saatnya pergi dari sini”



Malam itu, aku ingat, kami para penonton juga menunjukkan sikap dewasa. Kami semua dengan teratur meninggalkan ruang bioskop ketika pertunjukan telah selesai dan lampu-lampu ruangan telah kembali dinyalakan. Tanpa kedewasaan, lampu-lampu yang kembali dinyalakan itu tentunya tidak akan terlihat menawan sebagaimana mestinya, melainkan mengusir. Mengusir dengan halus.

So, there they are. Have a big time and be mature yo’ll






Sabtu, 11 Februari 2017

Memaafkan

Aku dan dan Gonde sudah bersahabat sejak lama. Karena campur tangan sang Maha Kuasa, semua ilmu dan nilai-nilai yang kami pelajari juga ternyata asalnya dari tempat yang sama. Tetapi implementasi kami jelas berbeda. Ya ialah, setiap manusia itu kan unik. Konon katanya sepasang kembar identik juga memiliki keunikannya masing-masing.
Untuk aku dan Gonde, persamaan di antara kami hanyalah tentang mimpi kami untuk dunia. Kami sama-sama ingin mengubah dunia. Yep.. itu adalah hasil komitmen kami saat masih duduk di bangku kuliah. Statement terlahir setelah kami saling berbagi dan menyelesaikan membaca buku Sean Covey tentang Seven Habits of Highly Effective Teens. Kalau tidak salah, dulu warna covernya merah dan biru. Ngejreng banget!
Pagi ini aku terbangun dan tak lama kemudian bertanya-tanya kembali. Bagian apa dari dunia ini yang dapat aku ubah di pagi ini. Dan ide itupun tercetus kembali. Terlontar begitu saja dari salah satu file memori masa lalu. Idenya adalah tentang dunia. Aku ingin membuat hidup di dunia berubah menjadi lebih mudah. Tidak hanya hidupku tapi juga hidup orang lain. Sungguh Niat yang luhur dan agung.
Sekonyong-konyong saat itu aku merasakan ada cahaya biru lembut menyoroti tubuhku yang belum mandi dan bersih-bersih. Cahaya itu turun dari atas dan momen itu bertahan untuk beberapa saat.
“Breett!!” Tiba-tiba sensasi itu terhenti. Dan terpampanglah satu pesan sponsor tepat di depanku. Begini tulisannya, “Luhur tanpa paksaan!! Peace!!”
Pelajaran pagi ini, tidak baik berlama-lama dalam dunia khayalan. Apalagi di pagi hari. Lamunan pagi jika tidak dikelola dengan baik akan membuat teman-teman terlambat mengejar agenda-agenda lain.
Teman-teman pasti pernah dengar kata maaf. Ya kan…?? Ya ialah. Teman-teman yang membaca tulisan ini tidak terlahir di Mars kan? Hehe..
Sepengetahuan ilmu sosial yang bercampur dengan keahlian sastra yang aku miliki, kata ini ada dan sudah terpatri di dalam budaya atau tradisi manapun di dunia. Tidak hanya dari Sabang sampai Merauke. Tapi juga meluas dari wilayah Bujur Barat ke Bujur Timur; Lintang Utara ke Lintang Selatan dalam bola dunia.  Tolong simpan kembali peta anda.. Tulisan ini sama sekali tidak akan memperdalam tentang ilmu Geografi.
Kata maaf. Itu lah topik tulisan ini. Teman-temanku yang baik hati dan cantik-ganteng ingat tidak kapan kalian terakhir kali menggunakan kata ini? Dan, di mana kalian paling sering mendengarkan penggunaan kata ini?
Buat aku dan Gonde, kata ini paling sering kami dengar atau tepatnya kami gunakan ketika kami sedang mengevaluasi diri. Ketika kami belajar bahwa kedewasaan tidak ditentukan oleh usia melainkan oleh kerendahan hati untuk terbuka dan jujur atas diri sendiri.
Kami berdua memiliki pengalaman yang berbeda-beda tentang bagaimana kami mempelajari makna kata Ini. Tetapi karena kami sudah berteman sejak kecil, tidak jarang kami pun harus menjalani hal yang sama dan mempelajari makna kata ini dari kejadian yang sama. Misalnya ketika di suatu sore hari Minggu kami gagal melarikan diri karena kedapatan memanjat pohon kelapa milik tetangga. Atau ketika tanpa sengaja kami memecahkan vas bunga raksasa di rumah teman sekolah kami yang kebetulan memiliki toko kelontong yang laris manis. Siang itu kami sedang bermain hide and seek. Memecahkan vas bunga sungguh bukan bagian dari permainan. Atau ketika orangtua kami memurkai kami habis-habisan gara-gara kami keasikan bermain hingga larut malam tanpa memberi kabar. Saat itu, kami memang sengaja tidak ingin menelpon ke rumah, biar tidak buru-buru dijemput. Namanya juga anak-anak pintar. Segala cara dilakukan untuk bisa bermain lebih lama. Aku tidak tahu dengan Gonde, tapi aku masih ingat malam itu aku melihat ibu yang menangis khawatir aku diculik orang. 
Ahhh…. Itu adalah masa-masa intimidasi yang sangat memojokkan dan juga memalukan, menurutku. Aku tidak menemukan celah untuk bisa membela diri. Akhirnya, untuk bisa melepaskan diri dari kondisi itu, tidak ada cara lain. Terpaksa jurus ampuh pun dirapal dan dipertontonkan. Aku mengucapkan kata maaf diiringi dengan suara sesunggukan karena saat itu aku melakukannya sambil menangis.
Dalam kronologisnya aku menyadari bahwa aku merasa tersudutkan biasanya kata yang paling sering aku keluarkan untuk bisa melepaskan diri adalah kata “Iya”. Tapi sayangnya kata ini tidak menghentikan perlakuan intimidasi yang rasakan saat itu. Betapa tidak? Semakin banyak aku menggunakan kata ‘iya’ tersebut, semakin aku menjadi kecil dihadapan mereka dan semakin aku mengkerdilkan pelajaran dari teguran-teguran mereka. Aku hanya ingin semua segera selesai dan aku bisa cepat pergi.
Sebaliknya, jika aku menggunakan kata maaf lebih sering hal-hal yang tidak menyenangkan itu secara perlahan namun pasti berkurang dan akhirnya berhenti. Hingga aku pun bebas dan bisa melangkah ringan dan melanjutkan aktifitas ku yang lain. Kata maaf adalah usaha menyelamatkan diri yang sangat ampuh. Aku patut berterimakasih kepada Yang Maha Pencipta karena telah menciptakan kata maaf ini untuk para pelaku pelanggaran seperti aku. Bandel-bandel emang bandel.
Gonde juga melakukan hal yang sama untuk bisa keluar dengan selamat dari kondisi yang tidak mengenakkan itu. Tapi aku ingat dia pernah memberikan opini yang cukup berbeda dari apa yang kupahami sebelumnya. Menurut dia, kata maaf tidaklah sesakti yang aku jelaskan. Yang lebih kuat atau berkuasa atau lebih sakti agar seseorang bisa lepas dari hal-hal buruk adalah kata ‘memaafkan’.
“Bro, coba bayangkan kalau waktu itu tetangga kita yang pemarah itu nggak memaafkan kita.. Apa iya kita bisa diizinkan pulang begitu saja? Kalaupun kita bisa pulang, apa iya kita masih bisa terus bermain di sekitar situ dengan rasa aman? Atau kalau malam itu ortu kita nggak mau memaafkan kita dan kita ditolak sebagai anak, wah… bisa-bisa amburadul tuh hidup kita.” jelasnya kepadaku.
“So, gua pikir justru karena mereka mau memaafkan kita, maka kita akhirnya bisa bebas. Bebas untuk jangka pendek dan untuk jangka panjang. Dan lagi, menurut gua dengan memaafkan mereka juga terbebas dari masa-masa itu dan nggak perlu terikat dan menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran lebih lama lagi dengan masa-masa itu. Kita kan nakalnya nggak hanya sekali dua kali. Kalau ortu kita gagal move on dari yang pertama dan kedua, bisa-bisa di kenakalan ketiga…… Tau dah…,” saat itu matanya ia arahkan ke langit-langit seakan berharap akan mendapatkan suatu penglihatan.
“Benar kan bro? Kata maaf emang sakti. Tapi memaafkan jauh lebih sakti,” tatapannya kembali ia arahkan kepadaku.
Untuk mendukung penjelasannya siang itu, dia merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan kemudian menunjukkan dompet kulitnya yang usang. Di situ terselip foto mesra dia dan kedua orangtuanya. Foto itu ia cetak 6 tahun yang lalu. Setahun sebelum ayahnya meninggal.
“Karena dulu ortu gua bisa memaafkan gua untuk kenakalan-kenakalan gua waktu masih anak-anak, gua juga akhirnya belajar memaafkan. Sehingga gua melanjutkan hari-hari gua tanpa rasa takut. Rasa takut gua berganti dengan rasa hormat. You know… kalau tidak begitu, foto ini pasti tidak akan pernah ada. Dan gua akan pernah memaknainya seindah yang gua rasakan sekarang.”
Memaafkan dan dimaafkan adalah rantai yang bagaimanapun pasti akan terhubung. Semua hanyalah masalah waktu. Segala sesuatu yang terhubung dengan baik pastinya akan mendorong semakin banyaknya kemudahan bagi kita dalam melangkah.
Peradaban dunia akan terus berkembang. Tetapi orang-orang yang ada di dalamnya terkadang justru terjebak di dalam dirinya sendiri ketika dia tidak mampu memaafkan. Seandainya banyak orang yang belajar dan mampu memaafkan, tentunya kemudahan-kemudahan dalam kehidupan akan semakin menjamur di manapun dan kehidupan yang lebih mudah akan menjadi nyata.
Jika mengucapkan maaf gampang, tidak demikian dengan memaafkan. Begitulah menurut opini banyak orang.
Aku setuju bahwa memaafkan memang sulit. Pasti sulit! Apalagi jika orang yang bersangkutan merasa tidak pernah dimaafkan sebelumnya.
“Pi..pi..pi..pip…!! Pi..pi..pi..pip!!!” Alarm handphoneku berbunyi. Gawat… Aku sudah terlambat dan harus segera mengejar waktu untuk mengganti jadwal.
Mohon maaf ya teman-teman…
Mau lanjut dulu…






Menulis Lagi

Waahh… Nggak terasa sudah hampir dua minggu berlalu dan ada banyak cerita untuk dituliskan. Sayangnya mereka hanya tidak singgah cukup lama di dalam kepalaku. Layaknya pesawat yang hanya melintas meninggalkan suara bising dan membelah langit-langit di dalam kepalaku. Ya tak satupun ide itu yang membentur saraf jemariku dan menggerakkan tuas semangatku untuk menulis lagi. Hingga tadi malam, nyala semangat itu terlihat sangat muram, kelabu dan temaram. Ia terbungkus dinginnya musim hujan kota Jakarta di bulan Februari. Tapi hari ini tidak.
Beberapa hari sebelumnya, layar di laptopku selalu menyedot habis semua energiku. Imajinasiku menguap hilang bersama ratusan baris kalimat yang saling bertabrakan dalam pengucapan hingga akhirnya semuanya gagal terlahir. Tidak satu atau dua kali saja ragaku terlelap lelah di hadapan sang laptop. Namun sesuatu di dalam jiwaku sepertinya masih terus bertahan dan membara. Setidakanya begitulah menurut Gonde. Itu juga pembenaran yang ia pakai setiap kali aku memarahi dia ketika berusaha membangunkanku dari tidur.
Bangun pagi dengan perasaan bersalah atas tagihan janji yang belum terpenuhi sangatlah tidak menyenangkan. Ini lah keisengan gila yang dia sedang lakukan padaku selama beberapa hari belakangan ini. Tidak tanggung-tanggung. Dia mengguncang-guncang badanku sampai aku hampir jatuh dari tempat dudukku. Itulah yang terjadi setiap kali aku duduk di depan laptop dan hanya melamun sambil menunggu datangnya lelap. Tiba-tiba dia akan hadir di situ dan melakukan aksinya. Dasar manusia aneh. Ini juga terjadi saat aku sedang bersemedi di dalam toilet. Setelah menunggu beberapa saat, dia akan menggedor-gedor pintu agar aku segera keluar dan menyelesaikan tulisanku.
Gonde adalah satu-satunya teman dekatku yang terus berusaha memompa semangatku untuk kembali berbagi cerita. Menurut dia aku punya bakat dalam menulis. Ketika sahabat-sahabat yang lain harus menyerah dalam memotivasiku untuk karena mereka harus kembali ke dalam realitanya masing-masing, Gonde juga akan melakukan hal yang sama. Dia akan pergi kembali ke realita hidupnya sendiri. Tetapi tidak lama. Hanya sebentar. Segera dia akan kembali lagi dan mengacaukan frekunesi rutinitas hidupku, khususnya ritual tidur di depan laptopku.
Kami memang sahabat dekat. Tetapi, sering sekali aku berdoa kiranya kami tidak perlu sedekat itu.
Kalau sudah seperti ini aku akan balik badan lalu mengambil satu batu ajaib dari kampung yang sengaja aku simpan untuk masa-masa darurat seperti ini. Batu ajaib ini bekerja seperti batu kripton yang bisa menangkal kekuatan Superman. Bedanya, batu ini berfungsi untuk mengusir hanya orang-orang baik hati namun menyebalkan. Cara pakainya juga sangat gampang. Cukup masukkan batu ke dalam mulut, jepit erat dengan gigi geraham. Bisa di sebelah kiri ataupun kanan. Lalu tutup mulut serapat mungkin hingga barisan gigi depan tidak terlihat. Setelah beberapa saat, dijamin orang yang hendak diusir pasti akan pergi.
Hari ini udara dingin disertai hujan deras mengguyur Jakarta. Seperti biasa aku dan Gonde akan kembali hangout bareng karena urusan pekerjaan. Jika waktunya memungkinkan biasanya kami akan mencari alternatif lain dengan bermain basket. Tetapi belakangan ini, mungkin karena faktor usia, kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiskusi. Diskusi tentang apa saja.
“Batu ajaibnya sudah dilepas, belum?” Pertanyaan ini langsung menodongku tanpa basa-basi. Sambil asik menyantap habis parcel nasi kuning dari hidangan bakti sosial yang kami hadiri tadi siang, dia melanjtkan, “Kalau belum… ya tolong dilepesin dong bro. Gua mau ngomong.”
Matanya terus kelayapan mencari sisa parcel atau hidangan lain yang masih ada di sekitar kami. “Bro, lu tau nggak dunia ini besarnya seperti apa?” lanjutnya.
Saat itu tangannya berhasil meraih sepotong risol goreng yang ada di dalam kantong plastik di dekat tempat dudukku. Aku tidak sempat menjawab pertanyaan itu. Aku bahkan tidak sempat berpikir tentang jawaban yang tepat untuk itu. Dengan cepat jari-jemarinya berhasil melepaskan pembungkus risol itu dan siap memasukkan risol yang cukup besar itu secara utuh ke dalam mulutnya.
“Besar banget..!!” sambungnya tanpa berusaha menjelaskan konteks.
“Besar banget apanya bro? Risolnya? Hahaha.. Kalau udah urusan risol, lu kan selalu ga peduli ukuran. Kecil besar semua bisa dilahap habis ama lu,” jawabku sambil berusaha menebak arah percakapan kami. Pikiranku masih berada dalam cahaya temaram.
“Yaeelah… bro.. Dunia bro!! Dunia!! Dunia itu besar banget..,” jawabanya dengan mata yang berbinar-binar.
“Itu benar banget bro. Tapi, tau nggak? Buat gua, dunia yang besar ini bisa menyusut. Lebih tepatnya disusutkan. Dunia ini bisa menjadi sangat kecil sehingga sangat bisa untuk dikendalikan. Caranya? Banyak. Salah satunya ya… menulis.” Kali ini dia berbicara sambil mencondongkan badannya ke arahku. Jari-jari tangannya saling bertemu dan mulutnya berhenti menguyah. Risolnya telah tertelan habis.
“Konon katanya, sebuah tulisan mampu menciptakan dunia yang lebih kecil, lebih fokus, lebih mengkerucut. Dunia di mana waktu selalu terhenti. Konon lagi katanya seorang penulis juga bisa mengendalikan dunia lewat riak-riak kecil di dalam tulisannya. Ya… tentunya itu bisa dilakukan setelah dunia itu dijadikan kecil terlebih dahulu,” nada suaranya terdengar sangat meyakinkan.
“Nah… lu kan bisa nulis. Dan yang gua tau lu juga sebenarnya suka berbagi bercerita. Memang sih cerita dan guyonan lu emang belum cukup menarik dan belum ada yang berhasil dibuat menjadi film juga. Tapi gua masih ingat resolusi lu untuk tahun ini, bro. Lu mau membantu mengubah dunia kan?”
“Woooww.. kata siapa bro? Hahaha… ngarang lu..!!” jawabku kepadanya sambil berusaha menahan diri agar suara tawaku tidak bertambah keras.
“Hahaha.. iya lu bener. Gua ngarang doang soal resolusi lu. Kan waktu itu lu nulisnya juga pake sembunyi-sembunyi. Tapi nggak lama kemudian, kan lu juga yang datang ke gua dan bilang mau jadi penulis di tahun ini” dia menanggapiku sambil menyeringai.
“Tapi, Lu setuju kan kalau seorang penulis bisa mempengaruhi dunia?” pungkasnya.
Aku tidak bisa berkomentar apa-apa. Haha.. jelas ini sudah di luar nalarku.
Aku tahu dia baru saja menelan habis satu potong risol goreng ukuran besar dengan cabe hijau yang tidak kalah besar juga. Aku tahu itu pasti telah mempengaruhi apa yang baru saja dia katakan. Aku tahu aku ragu akan banyak hal. Tapi aku juga tahu... aku tahu aku akan segera menulis lagi..
Stretching dulu ahh... biar nulis lagi...

Sabtu, 28 Januari 2017

Seni Pulang Kampung

Menurut kamu apa bagian yang paling menarik dalam frase ‘pulang kampung’ jika frase ini dipecah menjadi dua kata? “Pulang” atau “kampung?” Buatku bagian yang paling menarik adalah kata “pulang”. Aku adalah anak rantau. Asalku dari Gunungsitoli, Nias. Tentunya kalau pulang kampung ya pasti pulang kembali ke Gunungsitoli dong, hehe.

Aku pertamakali merantau di tahun 2004. Tujuannya adalah untuk kuliah di Medan. Setahun pertama aku tidak bisa merasakan yang namanya pulang kampung. Maklum saat itu tekad untuk mandiri sudah membaja di dalam hatiku sebagai orang muda. Tetapi di masa yang bersamaan dompet kesayanganku masih tetap gagal tebal. Yah.. curcol deh… hahaha. Ketidakmampuan ini terus berlanjut hingga awal tahun 2007. Kesempatan yang lama dinanti itu pun datang. Pikirku saat itu “Ah..akhirnya, aku nggak kalah seperti teman-teman yang lain”. Sejak saat itu aku pun menjadi rutin pulang kampung. Minimal sekali dalam dua tahun.

Tahun lalu untuk pertama kalinya dalam hidupku aku berhasil pulang kampung sebanyak dua kali di tahun yang sama! Di banding 13 tahun lalu, sekarang aku memang jauh lebih tua. Tapi untungnya penghasilanku masih belum merenta. Saat ini aku bekerja di kantor yang ramah. Gajiku ditakar secukupnya oleh pihak HRD dan supervisorku sehingga aku tetap bisa menabung. Cutiku juga bisa diatur jadwalnya sehingga selama perjalanan aku bisa benar-benar bebas dari urusan kantor. 

Hehe.. You know what.. Tuhan itu baik! Baik....banget!! Pulang kampung atau nggak pulang kampung, Tuhan itu baik. Dia membuat semunya indah pada waktuNya. Sekarangpun aku bisa menulis, itu semata karena kebaikan Tuhan. Karena itu, aku tidak ragu untuk merangkai tulisan ini. 

Bagiku makna kata pulang yang dipadu dengan pengalamanku dari pulang kampung di tahun 2007 dan 2016 lalu telah memberikan ku beberapa nilai kehidupan yang sangat praktis. Aku ingin membagikannya kepada teman-teman semua sekedar untuk bertukar pikiran. Soalnya kalau bertukar cincin bisa runyam urusannya. Hehe. Semoga berkenan ya.

“Bro, Tuhan tahu kok sukacita lo itu segede apa soal pulang kampung. Dan Dia juga senang banget kok liat lo sukacita. Nah… sekarang fokus dong nulisnya.. Nyengir mulu!!”.

Belum sempat aku selesai menulis, tiba-tiba Gonde mengejutkanku dengan cipratan air yang mengenai mataku. Ternyata dia memperhatikanku sedari tadi dengan seksama. Aku memang membuat blog ini dengan meminjam laptonya sahabatku itu. Untung dia cukup sabar soalnya dia sedari tadi sudah antri untuk bisa memakai laptopnya sendiri. What a friend! 

Dia kembali asik mendengar musik dengan headsetnya sementara aku pun kembali meletakkan jari-jemariku di atas keyboard siap mengetik lagi. “Thanks buddy!”, ucapku singkat.

Here we go!

Poin pertama yang ingin aku tegaskan adalah pulang itu menyenangkan tapi jadi kampungan itu tidak! Perjalanan karirku telah membawaku dari kota ke kota lain dan dari desa/dusun ke desa/dusun yang lain. Aku belajar bahwa tidak ada orang yang suka disebut kampungan. Seakan-akan semua orang telah mengkerdilkan makna kampung dan semua nilai-nilai yang ada di dalamnya. Bahkan orang-orang yang lahir, besar dan hidupnya juga masih tinggal di kampung tidak suka disebut kampungan.

Namun ajaib bila kata kampung itu kita sandingkan dengan kata pulang sehingga menjelma menjadi ‘pulang kampung’, sekonyong-konyong derajat kampung itupun sekejap membumbung tinggi. Anggun, agung dan luhur. Ada suatu daya tarik seperti magnet yang bisa membuat orang lain yang mendengarnya menjadi jadi iri hati atau bahkan ikutan ingin pulang kampung. Mungkin itu naluri di mana semua batin makhluk hidup merasa nyaman dengan kata pulang.

So, kalau kamu pulang kampung, pastikan kamu bisa menikmati makna pulang dengan maksimal ya. Kalau tidak, bisa-bisa kamu hanya akan tejebak berada di kampung.

Berikutnya, pulang kampung tanpa nostalgia itu hambar. Coba bayangkan. Kamu bernostalgia dengan para mantan di kampung halaman. Menyenangkan nggak? Hehe.. tergantung sih ya. Tapi masa iya nostalgia hanya diartikan sesempit itu. 

Buatku nostalgia itu ibarat makan mie instant dengan merek dan produk yang sama. Rasanya tidak berganti. Tetap sama. Tapi nikmatnya meresap sampai ke hati. Asik kan?

Nostalgia itu pengulangan. Pengulangan hal-hal menyenangkan yang kita ketahui dari masa lalu. Hal ini bisa berupa interaksi dengan orang lain atau juga saat-saat menyendiri atau pun ketika kamu bisa terhubung dengan objek-objek menyenangkan dari masa lalu. Mengapa masa lalu? Iya dong. Kalau hubungannya ke masa depan, namanya investasi dong. Hehe

Karena alasan ini, bagi beberapa orang, duduk di depan TV pada saat pulang kampung tetap bisa terasa sangat menyenangkan. Sama menyenangkannya dengan duduk melihat garis pantai di kala senja bagi orang lain yang menyukai interaksi dengan alam. Tidak heran untuk beberapa orang pulang kampung itu justru terasa berat. Sederhananya ialah karena orang tersebut tidak merasa memiliki kenangan menyenangkan dengan tempat yang ia sebut kampung tersebut. Hehe… kalau menurut kamu gimana?  

Poin terakhir yang aku bagikan lebih merupakan fakta observasi. People change. Full stop. 

Seiring waktu, kamu dan semua orang pasti berubah. Alasannya adalah respon kita terhadap tanggungjawab hidup. Tanggungjawab akan membawa perubahan yang jelas di dalam diri setiap orang. Semakin banyak tanggungjawab di dalam hidup seseorang maka seharusnya kita akan melihat banyak perubahan di sana-sini. Minimal di dalam kepribadian seseorang yang kemudian akan bersampak pada kondisi kampung tersebut. 

Memaksakan kehendak agar orang-orang atau lingkungan di sekitar kita untuk terus menerus berada di dalam suasana nostalgia karena keberadaan kita, menurut aku itu jelas bukan hal yang baik. Di samping karena akan menuntut biaya dan energi yang besar, hal itu juga akan menyita waktu banyak orang.

Satu-satunya cara agar skenario itu dapat berjalan dengan baik ialah jika aktifitas pulang kampung ini disulap menjadi kegiatan komersil atau bisnis. Hehe.. selama dapat memberi manfaat untuk semua orang dan tidak ada pihak yang dirugikan; semua orang setuju dan bahagia... well go on..

Wah… kok jadi rumit ya?? Hehe.. agar tidak terjebak dalam arus nostalgia sambil tetap bisa menikmati suasana pulang yang menyenangkan di kampung halaman, pastikan kamu punya daftar tujuan atau hal-hal yang ingin kamu lakukan serta orang-orang yang ingin kamu jumpai selama pulang kampung. Lakukan persiapan dan koordinasi dan kemudian gerakkan rencana kamu agar terlakasana. Fokus pada prioritas kamu. Selanjutnya, Tuhan pasti akan membawamu ke dalam kejadian-kejadian seru yang tidak kamu harapkan sebelumnya.  Aku menyebutnya seni pulang kampung.



Jumat, 27 Januari 2017

Public Speaking

“Public Speaking guys…!! Public Speaking…!!”

Tiba-tiba saja Gonde menyeruak masuk ke dalam ruangan dengan suara yang nyaring. Saat kami semua baru saja tiba dan pagi itu sedang tidak ada demo penistaan agama di area kantor kami. Sontak kami semua kaget. Salah seorang dari kami ada yang sudah berumur limapuluhan tahun. Untung dia tidak kenapa-kenapa. Hanya senyum ramah yang terpampang di wajahnya. Sementara yang lain hanya tersentak sesaat dan kemudian melanjutkan mempersiapkan perlengkapan kantor. Kami semua tahu kalau Gonde itu suka bikin kejutan dengan cara-cara yang konyol.

“Hm… Kok pada diam semua ya?”, Dia terus memburu kami. Sambil berjalan ke sudut ruangan. Setelah menemukan posisi yang nyaman, dia marik nafas dengan salam. Pandangannya menjelajah berkeliling. “Berarti banyak yang masih belum tahu nih.”, simpulnya dengan sedikit nada kemenangan terdengar di balik senyumnya yang dari tadi telah terkembang.

Itu lah Gonde. Sahabatku yang konyol, keras kepala dan pastinya baik hati. Sehari sebelum itu dia dipiliha oleh kantor untuk mengikuti pelatihan public speaking. Tidak semua staff ditunjuk untuk kesempatan itu. Salah satu alasannya ialah karena biaya pelatihan yang mahal. Terpilih untuk pelatihan ini bagi Gonde sangatlah dalam dan spesial maknanya. Dia orang yang cukup perasa alias sensitif orangnya. Lalu, karena aku dan yang lain tidak terpilih dia pun berjanji akan membagikan apa yang dia pelajari dari pelatihan itu pada kami semua. Kami pun menjadi paham apa yang akan sesaat lagi akan terjadi.

 “Teman-teman, ingat ya.. Public Speaking itu tidak ada hubungannya dengan Speaker. Itu lho.. pengeras suara yang biasa dipakai di acara kondangan atau yang biasanya dicolokin ke laptop itu. Public Speaking itu bahasa Indonesianya Berbicara di Depan Umum dan orang yang melakukannya di sebut Public Speaker atau Pembicara. Semua orang bisa menjadi pembicara. Syarat utamanya adalah harus punya pendengar lebih dari satu orang. Sederhana, kan?”

Perlahan kami yang ada di ruangan pun tertarik untuk mendengarkan ocehannya. Walau tidak dapat mengutarakannya secara gamblang, apa yang ia sampaikan pagi itu cukup menginspirasi untukku. Selama hamper 15 menit berbicara, berikut adalah poin-poin praktis yang aku tangkap tentang tips agar menjadi seorang Publis Speaker.

Pertama, dan yang paling utama adalah hati. Seorang public speaker harus bisa menjaga hati. Sebab dari sana lah terpancar kehidupan. Wuihh… dalam banget.. Maksudnya kira-kira seperti ini. Jika hati dalam keadaan baik maka apapun yang akan dikerjakan ataupun disampaikan oleh orang tersebut pasti akan baik juga. Orang-orang yang tahu bagaimana menjaga kondisi hatinya akan mampu juga mengendalikan suasana pada saat sedang berbicara di depan umum. Ada yang bilang, orang tersebut akan jadi lebih bersahaja, tegas dan juga berkharisma. Ternyata hati kita itu sakti ya.




Kedua, Waktu. Selalu ingat waktu. Sering terjadi bahwa seorang Public Speaker diundang ke sebuah acara untuk berbicara misalnya untuk durasi 1 jam. Tetapi kerena banyak faktor, tiba-tiba oleh panitia si pembicara hanya diberi waktu 15 menit untuk berbicara. Jika anda menjadi Public Speaker dan anda terjebak dalam kondisi ini, pastikan anda harus tetap mengikuti arahan yang diberikan, yakni hanya berbicara 15 menit. Memang akibatnya adalah anda harus melewatkan beberapa materi-materi yang telah anda siapkan. Anggaplah ini sebagai proses pemurnian materi. Cukup sampaikan apa yang menjadi prioritas anda dan anda juga bisa sampaikan bahwa sisa materi yang lain akan dibahas di lain kesempatan. Niscaya para pendengar masih akan tetap memberikan tepuk tangan meriah di akhir sesi anda. Bahkan… mencari anda untuk tahu lebih jauh tentang materi anda.





Ketiga, Hormat. Hormati diri anda sendiri dan juga orang lain. Artinya jangan menganggap diri anda lebih besar ataupun lebih kecil dari orang lain. Kita tidak bisa mengatur sudut pandang orang lain, tetapi kita bisa mengatur sudut pandang kita sendiri. Dengan begini anda memuliakan diri anda sendiri, orang lain dan pada umumnya anda memuliakan manusia makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa. Sehingga dalam Public Speaking, peran anda sebagai pembicara bukan mengajari ataupun mendikte orang lain. Melainkan berbagi dengan orang lain tentang buah pikir, pengalaman ataupun pengetahuan anda. Ketika anda gagal menghormati seseorang, sebenarnya anda gagal melihat potensi diri orang tersebut. Bahkan membatasi orang tersebut di dalam pikiran anda. Hehe… anda kan bukan Tuhan.




Keempat, Materi. Sampaikan materi anda sesederhana mungkin hingga anak SD juga bisa mengerti. Jika materi yang anda sampaikan memang rumit, maka tugas anda sebagai seorang Public Speaker adalah menyederhanakannya. Salah satunya dengan cara mengemasnya dalam bentuk permainan ataupun aktifitas sehari-hari. Lebih menohok lagi seorang Albert Einstein, salah seorang ilmuwan terkemuka dunia, pernah mengatakan “If you can’t explain it to a six years old, you don’t understand it your self”. Relevansinya ialaha, seorang Public Speaker harus memahami materinya dan mampu menjelaskannya ke orang lain. Niscaya anda akan dapat menggerakkan perubahan di dalam hati orang lain.




Pagi itu setelah Gonde selesai dengan kuliah singkatnya, kami pun kembali ke meja kerja masing-masing. Hari masih panjang...